Before Chicklits, Chickflicks, and K-everything Invades

April 14, 2019

Perjalanan dari kantor ke rumah biasanya adalah hal yang paling dinanti-nanti walau kerap kali selalu menjadi perjalanan yang jenuh dan membosankan.

Hari itu di mobil entah kenapa gue nggak tidur, malah iseng buka twitter.
Dan tweet ini lewat di timeline:




Something in my heart is awaken, and the leftover cells on my brain screams:
"Delapan tahun, Nyet!"

Masih terpatri di kepala, gue bener-bener pingin tear up jam tiga pagi waktu itu kayak nggak inget besok masih harus sekolah cuman buat nonton match ini.
The match of my life.
It etched into my brain.

Still makes me sick everytime I think about it.
Bajingak.

See how much I kept this memory 'here', where it safe?
Eight years of my whole cells, blood, bone and tears loving you?


Arsenal taught me that hopes exist just to prolong the anguish of the beings, dan darinya memantik pertanyaan soal kesetiaan.


People can move places, bisa mencari pasangan baru, left their old jobs to start a new one, atau mengubah pilihan politiknya, atau bahkan agamanya, terus kenapa lo harus setia? Why so hard to devolve instead of being a devoted bitch, bitch?

Kalau yang didukung membosankan, bikin kita kecewa dan sengsara, selalu bikin kalah taruhan, dan selalu dicengcengin teman yang fans klub sebelah, kenapa sih gak pindah ke klub lain? 
Apakah kesetiaan = sadomasokis? 
Padahal pemain, pelatih atau manajer bola bisa gonta ganti klub secara teratur, dengan mudahnya.


There was no rule, dan gak ada pula pihak yang secara langsung merasa dirugikan. Isn't it rare to see someone announce that they're leaving their beloved club behind and stating that they are moving on with a new club?

For a primordial reason, yeah, mungkin bisa dimaklumi. Misalnya, gue yang kelahiran Bandung, tentu akan mendukung Persib, dan bakal aneh kalau mendukung klub lokal Indonesia lain. But for the love of God, Arsenal is there alive breathing far far away in Europe, thousand miles away, kenapa gue harus setia? 

Lebih-lebih English Premier League telah diubah dari olahraga paternalistik yang relatif egaliter menjadi industri hiburan global yang didominasi oleh mega-brand yang rakus. Ini nih. Gue biasanya males dan eneg sama yang beginian, tapi kok awet juga, gue jujur masih suka heran. 


"Kisah nyata Liga Premier hampir semua tentang uang"
-Simon Kuper, co-penulis Soccernomics.


Then whyyy? Kenapa gue tetap mencoba setia?

Untuk alasan masokis, gue bisa mengiyakan. Arsenal for me is like a type of melancholy film. Sendu, dan murung, sesuatu yang selalu menarik buat gue. Ejekan yang sering disematkan padanya seperti: Miskin achievement dan rapuh, little did I know, itu seakan-akan mencerminkan diri gue sendiri.

Berbakat tetapi rapuh secara mental. (I hate how spot on this sentence is, even when I type this, lol).
Di saat-saat penting suka goblok aja gitu mainnya.

Ejekannya makin menjadi-jadi karena sekarang terseok-seok untuk mempertahankan tempat di empat besar. See? Harapan muncul hanya untuk mengecewakan dan memperpanjang derita manusia!

Tapi dari keping-keping pemain yang tersisa, yang akhir-akhir ini lebih sering gue maki-maki daripada gue puji, I put a lot of interest with these two. I feel like I'm falling in love again with their game play since Loki takeover Prof's throne.

I hope more trophies are won with them because that would be a SICK statue to have outside the Emirates. Isn't it?

Ini sudah 2019, dan gelar juara liga bagi Arsenal seakan-akan hanya ilusi utopis. So for the rest of the game of this season, please someone go figure out to fix their away performance or tell them to continue dreaming of playing in Champions!

All I remember that I completely lost my shit on that game, eight years ago. I don't remember being that emotionally invested in a game ever since. Even three FA cup trophy didn't heal anything ((YA JANGAN BOHONG KAU NANGIS JUGA KAN WAKTU 'BUKA PUASA'?)) 

Btw, FA Cup 2014 adalah pertamakalinya gue lihat Arsenal menang gelar sejak gue suka mati-matian. Padahal sejak 2011 hidup gue sudah di-take-over sama korea-koreaan yang menjadikan gue fans yang suka dikardus-karduskan sama kaum etilist. Apalagi gue secara vokal nggak pernah mengutarakan opini-opini gue tentang Arsenal. Bahkan orang terdekat gue suka lupa kalau gue seneng bola. I guess I always keep it lowkey and that's healthy because I keep unbothered by other's side yang kadang sotil banget, jadi mostly gue menghadapinya dengan: "AAAAAAAAH, NONTON KOREA KOREA AJA BIAR NGGA PUSING!"

Sama seperti film-filmnya Wong Kar Wai, buku-bukunya Ika Natassa, VIXX dan Jay Park di industri musikㅡArsenal always got me spiritually affected. 

Konsep bahwa seseorang, atau dalam bentuk jamak lain, yang nggak pernah lo temui dan berkomunikasi secara langsung telah menyentuh hidup lo selama ini tentu tidak mudah diterima. 

No one really 'okayed' that concept karena gagasan seperti itu terdengar sangat sangat superficial. 

Layaknya semua bentuk hiburan di dunia ini, Arsenal adalah alat yang pernah gue gunakan untuk dekat sama cowok di bangku SMA, Arsenal juga pelarian saat gue merasa ditinggalkan, dikhianati teman, dan saat butuh teman-teman baru. Tentunya ini adalah bentuk kapitalis global yang dengan senang hati asapnya gue hirup selama 10 bulan dalam setahun sejak masih belia sampai saat ini, walau masih 'ngardus'.




You Might Also Like

0 comment