Critical Eleven The Movie: Ale, Benchmark Suami Idaman (Impression & Spoiler Review)

May 12, 2017

Film adaptasi buku punya tanggungan berat untuk memuaskan dua jenis penonton sekaligus, mereka yang membaca dan penonton yang nggak membaca bukunya. So no wonder, nggak heran kalau sebuah film yang materi mentahnya nyomot dari buku, bersiap-siaplah untuk menyakiti salah satunya. Akan selalu ada yang teriak-teriak “Film tidak sama dengan buku!!! Males!!!”. 

Tapi sebenarnya kalau film itu diberikan kebebasan untuk berdiri sendiri, melihatnya tanpa embel-embel adaptasi, maybe we can enjoy the movie as much as we enjoyed the book. Walau berstatus 'adaptasi', akan lebih bijak kalau sebuah film dilihat sebagai karya yang berbeda, film ya film. Nantinya sah-sah aja jika apa yang dilihat dan dibaca nggak terlalu mirip, toh setiap kepala punya gambaran imajinasi yang berbeda dengan apa yang mereka baca. Siapa sih yang bisa mengalahkan bayangan sinematik pembaca?

Kemarin gue akhirnya...AKHIRNYA nonton Critical Eleven. I loved and enjoyed the book so much, dan gue jujur punya ekspektasi yang tinggi terhadap filmnya.


Gue emang sengaja untuk nonton tanggal 11 Mei kemarin sekalian Meet & Greet dan nonbar sama castnya di Bandung, yang dateng hari itu adalah Ale, Anya dan Donny (Reza Rahadian, Adinia Wirasti dan Hamish Daud). Gimana sih ini Harris nya kok nggak dateng?! Padahal dia yang diitunggu hahaha. Kalau Critical Eleven adalah cabe, mungkin Harris alias Abang Refal ini ibarat rawitnya.

Ale-nya polah banget dong kemaren, kok gemas??! Sowwyy for the super LQ fancam (iya, fancam).

Impression & Review

Sebelum filmnya main castnya pada masuk studio dulu untuk sambutan dan bikin video bareng bareng sama audience. Nggak lama kemudian Mba Asti bilang "Oke, tanpa harus berlama-lama lagi kita mulai aja ya filmnya." Gue nyeletuk dong, gue belom puas liatin Hamish, "NGGAK APA APA YANG LAMA AJA!!" Terus depan gue juga ikut membela statement gue dan jadi ribut lagi satu studio. "Lah, terus kalian kapan nontonnya?" Wkwkwk.

THIS ONE CONTAIN A SPOILER REVIEW. DI SKIP AJA YA (Kalau mau lanjut baca juga terserah)

GOKIL. Its so good beyond words. Sebelah kiri terenyuh, kanan sesenggukan, wah...nggak pernah gue nonton film Indonesia yang kayak gini, jamaat nyedot ingus bareng-bareng.

Emosi penontonnya dibawa naik turun selama durasi yang sepanjang 136 menit. Nggak cuman transisi dari adegan manis ke adegan sedih-sedihan, disini ada beberapa adegan yang bener-bener comical.

Salah satu cameo yang muncul adalah Dwi Sasono, tau kan Mas Adi yang dodol di Tetangga Masa Gitu? LOLLLLL satu studio dibikin ngakak sama ini orang. Karena mungkin kami semua sudah biasa melihatnya sebagai Mas Adi dan sudah terpatri imagenya Dwi Sasono yang dodol dan bodoh karena sitkom di NET TV ini, thank you. Terus disini dia dapet peran serius: jadi dokter kandungannya Anya. Di adegan tersebut kita bukannya ikut sedih tapi malah ketawa. It feels so right yet it feels so wrong, ketawa-ketawa di scene sedih. Hadeh.

Reza Rahadian, thank you for proving me wrong all of this time! Gue selalu berfikir dia nggak akan bisa memerankan Ale, menghidupkan karakter Ale dan semua sisi emosinya. Gue salah besar. I smile with him, I cry with him, gue dibikin ikutan simpati sama perannya, khawatir, marah dan sedih. He has a big, BIG burden for fulfilling a nation of women's expectation, and for the nation's A grade actor, it was easy for him to prove that we didn't have to worry. There's no word such as 'overused' untuk dedikasi terhadap sebuah profesi. Ya walaupun banyak yang ribut di awal "Kenapa sih Reza lagi?" termasuk gue. "Kan bosan" itu alasannya. But now name me one of the Indonesian actor that can play Ale as good as him? I think its simply none. Bener-bener nggak salah sih milih Reza untuk peran ini. He did wonders.

Adinia Wirasti. Gue harus bilang this one is her best performance so far. Ya Allah bisa ya dia akting kayak gitu?? Gue terakhir liat dia di Cek Toko Sebelah terus ya B aja gitu, cuman supporting act, jadi nggak menonjol, beda banget sama dimari. She had the best glo-up! Best of luck Mba Asti untuk project-project selanjutnya, I'm a fan now.

Cast yang lain mainnya juga apik, cerita yang harus dikurangi dan ditambah juga pas, plot hole nya menurut gue gak akan ganggu (untuk yang udah baca bukunya), sinematografi dan OST nggak usah diragukan, script juga sama dan buat gue yang sangat mendetail kalau nonton film atau baca buku, yang paling menyorot perhatian gue adalah: the scoring. Kacau deh scoringnya. KACAUUUUUUU banget like *Udah tau nih adegannya sedih...* *tahan air mata* *muncul BGM* *mewek kejer*. Kacau kan? Yang asalnya gengsi mau mewek malah jadi mewek. Goks ni film emang gue gapernah serembes itu nonton film lokal. Yang mengganggu gue sedikit adalah color gradingnya yang mencolok di beberapa adegan, mungkin karena preference aja sih, gue lebih suka tone yang lebih soft, tapi tetep mulus kok di film. Dan ada beberapa flare yang sepertinya itu editan, bukan asli lol but nvm hahahah.

Pas filmnya kelar itu satu studio pada ngasih standing applause dong... Sumpah woy, gue pingin ikut tepuk tangan tapi gue udah gak ada tenaga. Lemessssss banget.

Nonton sambil membanding-bandingkan film dengan buku adaptasinya ya nggak akan pernah nyaman, tanpa sadar gue nggak bisa lagi nikmatin filmnya secara utuh, ya karena sibuk mengamati kesamaan dan perbedaaan antara apa yang sedang gue tonton dan apa yang pernah gue baca. Rempong. Memang beda sih kalau datang dengan mental menikmati dengan mental membandingkan. I’m on the second option, unintentionally, always. 

Banyak film Western / Indonesia yang based on the book, yang pernah gue baca bukunya sebelum filmnya, penilaian gue terhadap film-film tersebut pada akhirnya terganggu oleh satu dan banyak hal, gue seakan punya daftar panjang yang udah kayak struk belanjaan berisi kurang lebih tentang ‘Apa yang ada di buku tapi nggak ada dalam film’. Tapi untuk yang satu ini gue lepasin lah hal-hal itu, I want to enjoy the movie karena tiket bioskop sekarang mahal. 35rebu untuk weekday, bok. Sayang kalau gak menikmati.

Kalau me-list perbedaan antara buku dan filmnya yang tergambar jelas adalah:
  • Ada peran tambahan, Donny
  • Anya bukan yatim piatu, orang tuanya adalah diplomat yang tinggal di luar negeri
  • Raisa bukan single parent dan divorcee
  • Renata adalah bungsu Risjad tapi disini jadi orang laen HAHAHAHA
  • Ale masuk rumah sakit karena kena palang parkir, bukan kecelakan mobil
  • dan mungkin masih banyak lagi, tapi ya emang banyaaaaaaak
Sebagai sebuah bacaan, Critical Eleven harus diakui jenius dan prestisius. Beberapa kali gue nonton film yang based on the book yang sudah gue baca duluan bukunya, beberapa kali pula hati gue dibiarkan kosong, nggak diberi waktu untuk merasakan apa-apa. Beberapa kali gue seperti dibiarkan (dipaksa) untuk buka mata berjam-jam tanpa tau apa yang sebenarnya sedang gue tonton. Film seperti ini, sekali lagi, sudah lupa jika film adaptasi buku juga harus menyenangkan. Nggak untuk mereka yang membaca bukunya doang, tapi juga untuk mayoritas mereka yang tertarik dengan film ini tanpa sedikitpun mengintip bukunya. Sebel banget kan kalau versi layarnya mengaburkan esensi yang ingin coba diceritakan di bukunya!? Dan sekali lagi, siapa yang bisa menandingi bayangan sinematik pembaca? 

Tapi Critical Eleven ini beda cerita deh, filmnya bisa merangkul pembacanya sekaligus membuat yang belum baca bukunya bisa ikut terjerumus cerita Ale-Anya. Itulah kenapa film ini kacau dan gokil.

Ndymeter

Nggak tanggung-tanggung deh gue, without doubts, congrats Mba Ika for your first baby!!!

★★★★★

Ditunggu nih Antologi Rasa dan The Architecture of Love-nya~~




You Might Also Like

0 comment