Big Little Lies: The Book vs The Series

April 04, 2017

Banyak film Western / Indonesia yang based on the book, yang pernah gue baca bukunya sebelum filmnya, penilaian gue terhadap film-film tersebut pada akhirnya terganggu oleh satu dan banyak hal, gue seakan punya daftar panjang yang udah kayak struk belanjaan berisi kurang lebih tentang ‘Apa yang ada di buku tapi nggak ada dalam film’. Tapi sejauh ini film adaptasi buku yang diangkat ke layar yang paling juara menurut gue masih Gone Girl di nomor wahid.

Dari tanah air, yang gue kecewa, bisa jadi super kecewa adalah Supernova. Melorot banget dari segi ‘nyawa’ di filmnya, lemah di pembawaan pemain dan dialog. Buat yang udah baca bukunya…..yha….apaan gitu. Nontonnya bagaikan mendengarkan mba-mba narator membacakan bukunya, kayak cuman di-copy-paste-kan ke script filmnya. Dialognya jadi berat dan alay. Cringe worthy parah, PARAH.

Okay, seperti yang pernah gue bilang di post ini, gue telah mempertimbangkan dan akan mencoba mereview versi buku dan versi serialnya. I only rely to my limited memories and non-depth-analysis, so bear with me.


Perlu diingat bahwa mental yang gue pakai setelah membaca bukunya adalah mental membandingkan, bukan mental menikmati. Dan gue hanya akan pinpoint the key major yang ada di kepala gue.

From Pirriwee to Monterey ― Sebelum gue baca bukunya gue nggak tahu kalau setting aslinya take place somewhere in Australia, a small coastal town called Pirriwee. Entah mengapa dalam serialnya settingnya jadi di Monterey, California, US. Walau sama-sama di kota kecil dekat pantai, timbul pertanyaan kenapa diubah tempatnya? Budget produksi? Nggak mau repot? Masalah waktu? Ah, ya tentu pasti banyak pertimbangan kenapa mereka memilih untuk shooting di US instead of the original place. Tapi kalo gue mikir lagi, this is a HBO series, dan pasti budgetnya fantastis, sih. Apa udah abis duitnya buat bayar Withershpoon, Kidman dan Woodley, ya? They’re a big deal.

Kalau mau diuraikan lebih jelas tentang settingnya, di buku, si Celeste Wright (Nicole Kidman), digambarkan sebagai satu-satunya karakter kaya-raya punya rumah dengan view mengarah langsung ke tepi pantai. Tapi tidak dengan versi TV shownya, we can’t miss the reels and reels of house-porn footage. Everyone who lives in Monterey also seems to have boatloads of money. Rumahnya gedongan semua, oceanfront mansion, each episode is full of gorgeous ocean shots and lush, green and blue tones.


The characters ― Di setiap pengembangan adaptasi dari versi buku menjadi versi layar, pasti banyak hal-hal lain yang harus dipertimbangkan, mau diapakan versi mentah buku ini?

Banyak diantaranya yang menambah karakter atau menambah konflik agar lebih ‘juicy’ dan menarik. Big Little Lies is not an exception, they adding a new character, Joseph. Orang ini sebenarnya ada, bukan dibuat-buat lalu ditambah. Tapi seingat gue dia hanya muncul sedikit banget di buku namun lumayan mengambil porsi di layar. Karakternya developing. He’s the one who Madeline Mackenzie (Reese Witherspoon) having an affair with. Ada satu ‘steamy’ scene di serialnya yang memperlihatkan kalau penambahan karakter ini punya andil dalam cerita. Jadi penting, gitu, padahal di buku mah karakternya nggak penting wkwk.

Selain penambahan karakter yang sebiji, ada karakter yang dihapus di serialnya. Diantaranya geng ibu-ibu under the name of Blond Bobs (a group of rude, gossipy kindergarten mothers with matching haircuts) yang kalau ada mungkin bisa jadi meme dan Fred (Madeline’s son).

Dalam bukunya, Renata Klein (Laura Dern), tidak terlalu banyak mondar-mandir, walau sebenarnya dia adalah karakter yang berperan cukup penting. But she gets a big makeover in the show, dengan karakter yang kuat, porsi yang banyak and she got her own backstory.

Favorit gue dari awal sampai akhir adalah Chloe (anak cewek Madeline). Di buku dia irit banget, tapi gue bener-bener suka versi layarnya. Bocor banget anak ini huhuhuhu kusuka! And her dominance of controlling the songs for the soundtrack is superb.


Perry appears more sympatheticI love how the series giving out some details to Perry Wright (Alexander Skarsgard). Walau masih rapist dan jahat, he is very very...sigh, fragile. Sifatnya juga penyayang banget disini, panggilan kesayangan buat Celeste aja "Sparkle" haduuu so sweet,  meanwhile di buku dia bener-bener hopeless.


Story-telling ― Perbedaannya countless, banyak banget. I lost count, honestly. Yang paling gamblang, adalah bagaimana Jane Chapman (Shailene Woodley) tahu siapa pemerkosanya. Di buku, si Saxon Banks alias nama samarannya Perry, adalah seseorang yang dikenal baik oleh Celeste karena si doi adalah nama dari sepupu Perry. Aneh-aneh aja sih ini bapak, kalau mau bohong tentang identitas pinteran  dikit dong. But on the show they use google, lol, dan nggak ada sangkut pautnya dengan Celeste. Jadi disini Perry ngarang banget nama samarannya, untung orangnya gak mati betulan.

The ending ― Gue kayak punya masalah sama ending Big Little Lies, ya? Gue nggak puas sama versi bukunya, kirain akan terbayar sama versi layarnya. Ternyata kagak hahaha. Well, tapi yang bikin gue kagum adalah saat-saat dimana when the girls finally know the truth. An epic acting from the three, they deserve an Emmy for this scene only. Tapi gue teteup nggak puas, jadi sampai akhir hayatnya Perry nggak pernah tahu kalau Jane adalah wanita yang pernah ia perkosa dulu dan Ziggy adalah anak kandungnya. And here Bonnie doesn’t confess like on the book that she the one who pushed Perry. There's also no subplot about her having grown up with an abusive father, which explains why she so easily snaps when she sees the scuffle.

Adaptasi buku punya tanggungan berat untuk memuaskan dua jenis penonton sekaligus, mereka yang membaca dan penonton yang nggak membaca bukunya. Makannya nggak heran kalau sebuah tontonan yang materi mentahnya nyomot dari buku, bersiap-siaplah untuk menyakiti salah satunya. But overall Big Little Lies The Series is a satisfying adaptation for me. Pingin banget ada sequel-nya tapi gue baca-baca di portal berita gitu belum ada rencana. Padahal ceritanya punya potensi untuk dikembangkan lebih lanjut, the show also end with an open-ending.


The plot is kinda slow up until the groundbreaking last episode. It would appeal better as a two hour movie instead. Tapi yasudahlah. Siapa sih yang bisa mengalahkan bayangan sinematik pembaca? Sebuah karya kalau bisa harusnya dilihat sebagaimana adanya aja, kan? Buku sebagai buku. Film sebagai film.

Ndymeter

★★★★★

Lastly, I’d give five solid star for the series. The cinematography is win me over, the amazing casts and basically everything. Bisa dinikmati oleh yang baca bukunya sekaligus merangkul yang nggak baca bukunya. Buat gue ini adalah pengalihan pribadi dan rehat sementara dari Drama Korea hahaha, gue jarang banget nonton serial barat.

Apa kabarnya Critical Eleven yang akan tayang di bioskop bulan depan, ya? I hope it’ll living up to my expectation. I enjoyed and loved the book as hell. 

You Might Also Like

0 comment