Netflix Series Review: 13 Reasons Why

April 11, 2017


Ini salah satu Netflix Series yang digadang-gadang bakalan booming dan seru untuk dinikmati di 2017. Banyak yang berpendapat 13 Reasons Why ini punya potensi untuk bisa sebesar Stranger Things di 2016 silam. Ya, tauk deh, gue aja nggak nonton sampai kelar. I only watched 3 episodes and didn't even get to watch the rest of the episodes because it's so out of my league. Khayal. Entah kenapa kok gue males banget.


Now let's talk about the series.


Untuk gue yang tidak membaca bukunya  yep, this based on the same titled book by Jay Asher back in 2007, ini sudah sangat sangat bagus. Menurut yang sudah baca bukunyapun, ini memuaskan. Gue sekarang jadi penasaran sama bukunya dan jadi pingin beli, wakaka. Dilihat dari bukunya, ini genrenya sih Young Adult, remaja dewasa lah ya mungkin kalau di convert ke bahasa kita atau tauk dah gue sih nganggepnya begitu. Serialnya sendiri untuk penonton dewasa. Memang ada beberapa scene yang 'wow', penuh kata-kata kasar dan ke-eerie-an yang bikin gue lepas headset dan menumpahkan muka gue ke bantal hahahaha, ya gue sebanci itu. But it's all worth it. Its a gold one after all. Try! A must try! Belom basi kok, nggak ada kata telat untuk meng-hype serial sebagus ini.


Saran gue kalau kalian suka serial yang lain dari yang lain, jalan cerita yang seru, yang ngeri-ngeri sedikit dan banyak bumbu, ini mungkin cocok. No fantasy atau cerita-cerita khayal yang lebay, ini gampang di relate kok.


Its all starts with a girl named Hannah Baker (Katherine Langford), cewek 16 tahun yang cupu-cupu dikit, untung cakep. She killed herself and left 13 tapes that she record herself before she died. Apa isinya? 13 kaset berisi orang-orang dan kejadian-kejadian that let her down. Intinya sih 13 reasons why Hannah Baker killed herself.


Premisnya sedap kan?


Nama tiap episodenya juga menarik. Seperti: Tape 1 Side A, Tape 1 Side B, Tape 2 Side A, dan begitu seterusnya.






Disini kita melihat dan mendengar apa yang dialami Hannah dari salah satu kawannya yang diam-diam punya hati sama si doi, Clay Jensen (Dylan Minette) yang perannya juga jadi anak cupu tapi berani, untung cakep dan suka Star Wars kayak gue. Oh, ini cowok yang main juga di film Don't Breathe yang entah kenapa membuatku teringat pernah nonton ini dengan seseorang, ooooooh curhat.




Overall ceritanya terasa dekat dengan kita. Sekolah, remaja, friends, bullying, parties, romance sampai guru BP. Gue sih gapernah selama sekolah dipanggil guru BP karena gue bermasalah, tapi gue pernah dipanggil untuk dimintai keterangan tentang satu hal. Dan serial ini menunjukkan bahwasannya guru BP itu punya kantor bukan cuman buat nangkring guru yang kurang kerjaan, buat plot dan konsultasi masalah pelajaran anak, tapi juga punya peranan penting untuk jadi pembimbing dan teman diskusi bagi anak-anaknya. Nggak cuman untuk anak yang bermasalah, the kid who's never get them self into a trouble pun juga kadang butuh.


Yang bikin serial ini hooked banget sampai rela begadang buat khatam-in "Tai udah jam 1 aja!" adalah bagaimana setiap episodenya menceritakan satu orang dengan satu kejadian yang berbeda-beda. Cara menyampaikannya juga gue seneng. Apik banget dengan flashback yang selalu diakhiri dengan Clay disana menyusuri satu per satu ceritanya. 13 orang ini juga punya background story yang menarik, nggak kosong. Ada salah satu konflik yang 'panas' banget disini, its your job to find out.


Cowok yang gue taksir disini kok ya mati dan dalam kondisi kritis di rumah sakit. Ah, sedihnyooo. Guys, to find it out, its your job. C'mon seriously.




Loh, ada Mbak SelGom. Nggak kok, doi nggak main disini. Dia awalnya casted jadi Hannah Baker versi film tapi kayaknya nggak jadi tuh versi filmnya, tapi sekarang dia selaku Executive Producer untuk serialnya.


Endingnya gue rasa clear, after effect setelah menyelesaikan 13 episodenya dalam 3 malam (yang cukup fantastis dalam rekor per-nonton-an gue, itu cukup ngebut btw) itu indah. Biasanya kan suka ada rasa-rasa ganjil kalau kita udah nonton semuanya, nggak sreg, butuh detail lebih jelas atau semua terasa cukup but it's not perfect but its just crazy good. I'm on the last option, apparently. Sudah macam post-concert-blues aja, nggak tau mau ngapain abis selesai nonton. Berasa idup udahan.


Pesan moral yang bisa kita ambil dari sini: banyak. Cakep lah. Serial ini nggak hanya menghibur, tapi juga bikin kita aware tentang hal-hal disekitar kita, apalagi masalah suicide. Someone that sit next to you probably sad and depressed, but you have no slightest idea about that, right?




Plot twist? Ada dong. Not going to give you a single hint. Nonton makannya!!



Ndymeter

★★★★★

Well, gue nggak segan-segan untuk ngasih rating sempurna untuk yang satu ini. Plot hole-nya menurut gue nggak ada atau gue nggak ngerasa. It feels so clear and right just there, entah kenapa tanpa diusut lebih jauh (padahal masih bisa dikembangkan sampai bener-bener tuntas), rasanya emang benar harus sampai disini aja. 13 episode cukup, sesuai dengan judulnya.

Yang gue dapat dari sini, pesan yang paling ngena di gue setelah nonton ini, yang gue simpulkan sendiri adalah: Ketidaksukaan kita sama orang lain nggak perlu bikin kita jadi jahat.

Sempat gue berfikir if I was Hannah Baker, who's name and story that I'm going to put on the tape? So far gue punya satu nama yang mungkin bakal punya dua tape sides. Of course, I'm not going to do that but I can imagine things, right?

You Might Also Like

0 comment